Saat Matahari Menebar Jingga
Aku
duduk diatas pasir. Bersandar pada pohon kelapa. Desiran angin mengibaskan
jilbab hitam kesukaanku. Kudekap erat sebuah kerudung jingga pemberiaan Ayah. Aku bahkan tidak
bisa melupakan percakapan kami saat itu.
“Aina
Nursyamsi, ayah memberimu nama itu dengan harapan kedua matamu bisa memancarkan
cahaya seterang matahari. Selamat, Sayang! Akhirnya kamu jadi sarjana,” ucap ayah
seraya memeluk gadis kebanggaannya.
“Aina
sangat merindukan Ayah,” ucapku.
“Ayah
juga, Nak.”
Aku
menikmati irama detak jantungnya. Selama empat tahun aku telah merindukan suara
degupan yang merdu itu. Berada jauh darinya terasa sangat berat.
“Pakailah
kerudung ini di hari wisudamu. Ayah ingin menyaksikan wajahmu berwarna di hari
bahagia.”
Ayah
tersenyum. Tidak pernah tersirat dalam benakku untuk memakai jilbab selain warna
putih dan hitam. Aku pikir warna itulah yang cocok untuk semua pakaian yang kupunya. Warna cokelat hanya kupakai saat memakai seragam pramuka. Itu pun karena terpaksa.
Aku
memejamkan mata sejenak untuk mengenang semua hal tentang ayah. Angin yang
berseliweran membuat pohon-pohon kelapa melambaikan daunnya yang hijau.
“Negara
itu sangat luas dan indah. Orang bilang nenek moyang kita seorang pelaut yang
andal. Mereka mampu melampaui ribuan pulau dan mempersatukannya menjadi
nusantara.”
Ayah
selalu terlihat antusias saat berbicara tentang nusantara. Dari awal kerajaan
hindu berdiri, masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, hingga bagaimana
penyebaran agama islam bisa begitu pesat dan menyatu secara alami dengan adat
dan budaya lokal yang sangat khas.
Ayah
tidak pernah bosan menceritakan semuanya. Bagi ayah sejarah adalah satu-satunya
hal yang dapat mempersatukan rakyat Indonesia saat kondisi negara mengalami
ksisis. “Jika kita selalu merenungi sejarah, tidak ada alasan untuk kita saling
menjatuhkan. Tidak akan ada masalah dengan perbedaan,” ujarnya yakin.
Aku percaya pada ayah. Ayah yang setiap dini hari pergi melaut untuk mencari ikan dan melelangnya di pasar pada pagi hari. Ayah yang setia magrib suaranya terdengar dari pengeras suara mushala yang berada tidak jauh dari rumah kami. Beliau melantunkan azan dengan begitu merdu.
"Aina, ayolah! semua orang menunggumu." Suara Ibu membuatku tersadar dari lamunan.
Aku beranjak. Meninggalkan jejak-jejak kaki di atas pasir. Suara embusan angin masih terasa lembut menerpa tubuhku. Ibu membawaku ke rumah. Melewati para tetangga yang sudah siap mengantarkan jenazah ayah.
"Sebentar, Bu. Aina ganti kerudung dulu."
Aku berlari ke kamar. Mengambil jilbab yang ayah berikan beberapa hari yang lalu. Wisuda tingga beberapa hari lagi, tapi Ayah telah berpulang dengan tenang. Kuharap ayah bisa tersenyum melihat wajah anaknya berwarna denga jilbab berwarna jingga.
"Selamat jalan, Ayah! Allohummagfirlahu....!"
***