Hari Ke-1: Saat Anak Mulai Mengakui Mainan Temannya
Biasanya saya selalu memintanya untuk mengembalikan sendiri mainan itu. Alhamdulillah dia tidak pernah marah karena dari awal saya sudah mengajarkan dia tentang kepemilikan. Jadi dia tahu mana mainan milik dia yang bisa bebas dia mainkan, mana mainan milik temannya yang harus dikembalikan jika meminjam.
Jika saja dia ingin meminjam sesuatu tetapi temannya tidak mau memberi, Timur mengerti meskipun harus diawali dengan drama nangis dan membujuk. Pada akhirnya dia paham kalau tidak ada izin si pemilik mainan, dia tidak boleh meminjam.
Namun, hari ini saya melakukan kesalahan dengan mengembalikan mainan Zea tanpa sepengetahuan Timur. Alhasil dia marah besar.
"Bunda, mana jeruk?" tanyanya.
"Sudah bunda kembaliin ke Zea," jawabku santai.
"Nu Timur. Jeruk Timur itu mah!" teriaknya sambil menangis.
Saya kaget melihat responnya yang tidak biasa. Dia melempar beberapa mainan yang adla di dekatnya sambil terus berteriak. Bingung, dong, bagaimana saya hatus memberi tanggapan. Saya diam sejenak, ingin memberi jeda pada diri agar tidak tersulut emosi.
"JERUK TIMUUUUR!" Timur menambah intonasinya. Dia membentak sambil menatap saya penuh amarah.
"Itu, kan, punya Teh Zea. Harus dikembalikan," jelas saya dengan lembut.
"Bukan. Bukan nu Teteh Zea. Nu Timur," jawabnya ketus.
Saya terus berusahan menenangkan diri dan memberi penjelasan bahwa mainan itu bukan miliknya. Tetapi semakin sering saya menjelaskan, amarahnya semakin naik. Bahkan dia mulai memukul saya. Kali ini saya tidak bisa mengendalikannya lagi.
"Timur!!!" bentak saya refleks.
Seketika dia berhenti sejenak mendengar bentakan saya. Namun beberapa saat kemudian dia malaj tantrum. Menggulingkan tubuhnya di lantai sembari berteriak.
Astagfirullah. Saya terpancing emosi. Saya akhirnya beranjak. Menuju kamar, lalu mengempaskan tubuh di kasur. Air mata tidak mampu saya tahan. Sementara itu Timur berlari mengikuti saya. Menjatuhkan tubuhnya di samping saya. Dia memeluk saya dengan erat.
"Bunda Timur, Bunda Timur, Bunda Timur" tangisnya.
Saya geming.
"Maafin Timur, Bunda!"
Ya Allah, kalau sudah begini saya. Merasa bersalah. Harusnya saya yang meminta maaf. Dari awal saya bersalah karena tidak melibatkan Timur saat mengembalikan mainan itu.
"Maafin bunda juga, ya!" Saya memeluk Timur yang masih menangis tersedu-sedu.
Apakah wajar? Anak sekecil itu, menyimpan kemarahannya karena takut ditinggalkan dan dia meminta maaf karena tidak ingin melihat bundanya marah. Ya, Timur sudah mulai mengerti bahwa ketika saya sudah menyerah dengan rengekannya, saya akan marah dengan cara meninggalkannya menangis sedirian.
Setelah saya analisis, ada beberpa hal yang saya garis bawahi dari kejadian ini, yaitu:
1. Memberi pengertian tentang konsep kepemililan tidak bisa dilakukan hanya dengan mengatakan "Ini milikmu." dan "Ini bukan milikmu."
2. Melibatkan anak dalam proses meminjam dan mengembalikan mainan temannya sangatlah penting agar menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri anak.
3. Emosi adalah racun yang membuat komunikasi kita pada anak gagal total
Kali ini saya gagal memberi pengertian pada Timur karena tidak bisa meredam emosi saya. Sehingga pembahasan tentang kepemilikan terputus tanpa hasil yang diharapkan. Timur terpaksa melupakan topik pembahasan kami karena takut saat saya meninggalkannya. Sementara saya tidak berani membuka pembahasan itu lagi karena khawatir dia ingat dan kembali marah.
Saya berencana ingin kembali mencoba membicarakan hal ini esok pagi. Semoga hasilnya sesuai yang diharapkan.
Oke, untuk saat ini, saya pikir hanya pantas mendapatkan ⭐️.
Terima kasih!
Tasikmalaya, 3 Septembee 2020
Nurmaisyah
#harike1
#tantangan15hari
#zona1komprod
#pantaibentangpetualang
#institutibuprofesional
#petualangbahagia